Ibarat
lilin yang harus membiarkan dirinya meleleh agar dapat menerangi
kegelapan, itulah yang dilakukan oleh Reswanto, pemuda asli Sakai yang
harus berjuang agar anak masyarakat adat Sakai mendapatkan pendidikan
yang layak dan memiliki masa depan yang lebih cerah.
Suku Sakai adalah salah satu masyarakat adat Indonesia yang hidup di pedalaman Riau, Sumatera. Kehidupan
Suku Sakai di Riau sudah berlangsung semenjak abad ke-14. Mereka
dipercaya sebagai keturunan Minangkabau yang melakukan migrasi ke tepi
Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan.
Masyarakat adat Sakai
di Riau, saat ini menjadi kelompok minoritas ditengah gempuran
pertumbuhan ekonomi yang pesat. Menurut data kependudukan yang
dikeluarkan oleh Departemen Sosial RI, jumlah orang Sakai hanya 4.995 jiwa[1], sedangkan total populasi di Riau lebih dari 1225 kali lebih banyak, yaitu 6.125.283.[2]
Provinsi Riau dikenal memiliki potensi alam melimpah, minyak bumi serta
hutan yang luas dan lebat. Kehadiran berbagai perusahaan serta
berkembangnya berbagai industri di Riau menjadi daya tarik sendiri bagi
masyarakat pendatang dari daerah lain bahkan mancanegara untuk mengadu
nasib di provinsi tersebut. Tidak bisa dielakkan kehidupan masyarakat
Riau berkembang lebih cepat, lebih modern dan konsumtif. Hal ini membuat
masyarakat adat Sakai mau tidak mau harus berbaur dengan kehidupan lain
di luar kehidupan mereka sebelumnya. Dulu
cukup dengan mengandalkan alam seperti bertani, berburu dan berladang,
mereka bisa melangsungkan hidupnya. Kini mereka harus berhadapan dengan
para pendatang yang notabene memiliki pengetahuan dan modal yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka. Pola kehidupan yang berubah ini
membuat masyarakat adat Sakai harus berjuang mengejar ketertinggalannya
agar dapat bertahan di kehidupan sekarang yang cenderung lebih kompetitif.
Saat ini, sebagian masyarakat adat Sakai menyadari bahwa mereka harus membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup untuk bertahan. Beberapa putra Sakai terjun langsung untuk
memajukan sukunya. Salah satunya adalah Reswanto, pemuda asli Sakai
yang sedang mengambil gelar S2 jurusan Ilmu Pemerintahan di Universitas
Islam Riau. Ia melihat bahwa generasi muda Sakai saat ini membutuhkan
pendidikan yang lebih tinggi, tidak
hanya sekedar lulus pendidikan dasar agar dapat meningkatkan taraf
hidup dan mampu bertahan di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi di Riau.
Menyadari hal
tersebut, pada tahun 2008, Reswanto bersama kelima rekannya memberanikan
diri untuk membangun Madrasah Tsanawiyah Babusalam di Desa Kesumubu
Ampai, Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Riau. Pendirian madrasah
ini bukanlah perkara gampang. “Pada
awalnya, kami menumpang di gedung Madrasah Auliyah yang dibangun oleh
perusahaan minyak Chevron untuk melakukan proses belajar. Alhamdulillah,
kini kami sudah memiliki bangunan sendiri berkat bantuan dari pemerintah daerah”
kenang Reswanto. Tidak hanya itu, sebelumnya Reswanto dan
kawan-kawannya harus berjuang keras untuk mengajak anak-anak Sakai yang
putus sekolah agar mau melanjutkan pendidikannya di Madrasah yang dia bangun, padahal sama
sekali tidak dipungut biaya. Kala itu, anak Sakai lebih diharapkan
untuk membantu orang tuanya bekerja seperti bertani, berburu bahkan
melaut. “Ketika
awal Madrasah Babusalam ini berdiri, kami susah sekali mengajak
adik-adik kami yang putus sekolah untuk terus melanjutkan pendidikannya.
Orang tua mereka nampaknya sangat
kurang memotivasi anaknya untuk terus belajar di sekolah. Akhirnya,
kami berinisiatif menjemput bola. Kami pergi kerumah anak-anak putus
sekolah tersebut untuk memberikan penjelasan dan meyakinkan orang tua mereka betapa pentingnya sekolah untuk masa depan anak-anaknya. Jadi yang kami motivasi orang tuanya bukan anak-anak mereka.” cerita bapak dari tiga anak ini dengan suara yang penuh semangat.
Upaya jemput bola
Reswanto akhirnya membuahkan hasil dengan terdaftarnya 25 anak sebagai
angkatan pertama untuk belajar di Madrasah Tsanawiyah Babusalam. Saat
ini terdapat 34 anak yang mengenyam pendidikan di sana. Hingga kini
Madrasah tersebut telah meluluskan tiga angkatan belajar.
Mimpi Reswanto adalah
memberikan kesempatan belajar bagi anak Sakai yang putus sekolah. Faktor
terbesar yang menyebabkan anak Sakai tidak meneruskan pendidikannya
adalah faktor ekonomi. Karenanya, madrasah yang didirikan oleh pria 30
tahun ini tidak memungut biaya sepeserpun dari siswanya. Untuk
mewujudkan mimpinya tercatat banyak pihak yang membantu proses belajar
mengajar di madrasah ini. “Kehidupan kami (red: Madrasah)
betul-betul bergantung dengan adanya bantuan dana dari berbagai pihak.
Selain dana dari swasta, kami juga bergantung dengan dana BOS dari
pemerintah” jelas Reswanto, sarjana Administrasi Bisnis dari Universitas Islam Riau yang diperolehnya melalui program beasiswa Chevron.
Perjuangan Reswanto
dalam memajukan masyarakat adat Sakai tidaklah bertepuk sebelah tangan.
Sambutan datang dari sebuah perusahaan minyak yang beroperasi di Riau,
Chevron. Melalui bantuan biaya pendidikan yang diberikan Chevron,
terbukalah pintu bagi Reswanto untuk melanjutkan pendidikan Strata – 2 di Universitas Riau. Bukan hanya Reswanto yang terbantu oleh program pendidikan ini, “Ada lebih dari 120 generasi penerus masyarakat adat Sakai yang telah dibantu untuk melanjutkan pendidikan di tingkat diploma dan S1.” ujar Dony Indrawan, Communication Manager Chevron IndoAsia Business Unit.
Berkat kerja keras dari Reswanto, kini telah
banyak anak Sakai yang dulunya tidak dapat melanjutkan pendidikan
setelah tamat SD akhirnya dapat belajar di tingkat yang lebih tinggi. “Selulus
SD, saya tidak pernah berharap untuk duduk di bangku SMP karena orang
tua saya tidak ada biaya. Namun, Pak Reswanto datang dan menawarkan
sekolah gratis bagi kami yang putus sekolah, tentu saja kesempatan
tersebut tidak saya sia-siakan” kenang Akes Riyadi, salah satu siswa Madrasah Tsanawiyah Babusalam. (Adv)
http://nasional.kompas.com/read/2015/05/02/05515781/Membuka.Tabir.Peluang.Pendidikan.Hingga.Ke.Pedalaman#
No comments:
Post a Comment