“NAMA lelaki di Surah
Yasin itu”, demikian dinyatakan ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas, “Adalah Habib
ibn Surri An Najjar, seorang tukang kayu.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sosok
yang sesungguhnya tak disebut namanya di dalam wahyu ini sebagai
teladan tentang cinta yang tak habis-habis bagi ummat di sekelilingnya.
Dia bukan Rasul, bukan Nabi, bukan pula ‘ulama. Tapi dia berjuang untuk belajar dan memahami. Dan dia lelaki yang suka berbagi.
Hal terawal yang difahaminya hanyalah
bahwa para Rasul yang datang ke kotanya itu orang-orang tulus. Mereka
menghasung kebenaran dan mengajarkan kebajikan sama sekali tanpa meminta
imbalan. Bagi Habib, mereka adalah orang-orang yang mendapat sekaligus
membawa petunjuk.
Maka dengan bergegas-gegas dari ujung
kota, dia berseru-seru, “Wahai kaumku, ikutilah para utusan Allah itu!”
Dan Habib An Najjar, demikian menurut sebagian mufassirin, setelah
menyimak apa yang disampaikan para terutus itu kemudian melantangkan
dengan anggun pernyataan imannya.
وَمَا لِي لاَ أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
أَأَتَّخِذُ مِن دُونِهِ آلِهَةً إِن يُرِدْنِ الرَّحْمَن بِضُرٍّ لاَّ تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً وَلاَ يُنقِذُونِ
إِنِّي إِذاً لَّفِي ضَلاَلٍ مُّبِينٍ
“Mengapa aku tidak menyembah Dzat yang
telah menciptaku, yang hanya padaNya kalian semua akan dikembalikan?
Apakah aku akan mengibadahi sesembahan-sesembahan yang jika Allah Sang
Maha Pengasih menghendaki bahaya bagiku, maka syafa’at mereka sama
sekali tiada bermanfaat bagiku dan tak dapat menyelamatkanku?
Sesungguhnya aku jika demikian itu benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.” (QS Yaasin [36]: 22-24)
Mendengar ungkapannya itu, para pemuka
kaumnya murka. Betapa seorang lelaki tak dikenal, dari kalangan jelata
lagi miskin papa, mengajari mereka tentang agama. Betapa seorang yang
bukan siapa-siapa, mengungkap kesejatian iman yang membuat apa yang
mereka yakini selama ini tampak batil dan konyol. Maka diperintahkanlah
para pengikut untuk mengeroyok dan menyiksanya, hingga dadanya remuk dan
isi perutnya terburai akibat diinjak-injak.
Di detak-detik terakhirnya, dalam sekarat
yang menyergapkan manisnya iman, diiringi airmata para utusan Allah yang
tak kuasa menolongnya, dia mencoba bicara. Nafasnya yang satu-satu,
darahnya yang sisa-sisa, tak menghalanginya menyunggingkan senyum ridha.
إِنِّي آمَنتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُونِ
“Sesungguhnya aku beriman kepada Rabb kalian. Maka dengarkanlah ikrar imanku ini.” (QS Yaasin [36]: 25)
Kata-katanya ini, menurut Imam Ath
Thabary, khithabnya ditujukan kepada para Rasul yang mendampingi di
akhir hayatnya. Para Rasul itu takjub dan cemburu terhadap iman yang
telah menggerakkan Habib An Najjar berdakwah dengan mempersembahkan raga
dan nyawanya. Betapa sebentar dia belajar. Betapa cepat dia memahami.
Betapa dalam dia meyakini. Betapa besar cinta pada kaumnya. Betapa
hebat penyampaian dakwahnya. Dan betapa mahal pengorbanannya.
Kisah sang da’i tak berhenti sampai di
sini. Sebab mereka yang ada di jalan dakwah yang Allah ridhai tetap
hidup sesudah mati. Hidup dengan semua arti yang terkandung dalam kata
‘hidup’ itu sendiri. Habib An Najjar membuktikan diri sebagai lelaki
penggamit hati yang cinta ikhlasnya pada kaumnya terus dia dengungkan
dari dalam surga yang abadi.
“Aduhai alangkah baiknya seandainya
kaumku mengetahui. Bersebab apa kiranya Rabbku mengampuniku dan
menjadikanku termasuk orang-orang yang dimuliakan.” (QS Yaasin [36]: 29)
Inilah orang yang mencintai bagi seluruh
kaumnya, apa yang dicintainya untuk dirinya sendiri. Inilah orang yang
mengharapkan bagi kaumnya, apa yang diharapkannya bagi dirinya sendiri.
Inilah orang yang mentakutkan atas kaumnya, apa yang ditakutkannya atas
dirinya sendiri. Sungguh jiwa da’i sejati, yang kasihnya kepada ummat
dia bawa mati. Sungguh setiap yang memiliki jiwa penggamit hati, adalah
lapis-lapis keberkahan yang mencahayai zaman.
Habib An Najjar sudah mati. Maka Allah
yang Maha Santun dengan firman Maha Mulia menyampaikan apa yang dia
katakan dari alam yang sudah berbeda. Bahwa dia mencintai kaumnya, amat
berhasrat menggamit semua hati untuk dibawa ke dalam cahaya, untuk
diajak menikmati surga. Inilah hati da’i sejati.*
Twitter; @salimafillah
Oleh: Salim A Fillah
http://www.hidayatullah.com/kolom/salam-dari-salim/read/2015/03/04/39881/lelaki-dari-ujung-kota.html#
No comments:
Post a Comment