Apa yang terjadi jika ada pihak yang serta-merta melarang anak muda
melaksanakan shalat Maghrib atau shalat lainnya? Apa yang akan kita
lakukan jika ada yang melarang anak-anak mengaji setelah shalat Maghrib?
Tentu saja banyak pihak akan marah, bergerak, dan melawan.
Namun, yang terjadi saat ini, banyak yang meninggalkan shalat Maghrib
atau shalat fardhu bukan karena ada yang melarang. Anak-anak tidak
mengaji setelah Maghrib, bukan karena tidak diperbolehkan, melainkan
sebab terpaku pada sajian menarik di televisi. Dengan tenang, pemirsa,
terutama anak-anak, tetap duduk di depan televisi meski azan Maghrib
sejak tadi berkumandang. Ujung-ujungnya tidak sedikit yang melalaikan
shalat.
Ketika ada acara pesta atau perlombaan yang melewati Maghrib,
sebagian yang hadir tidak jarang melalaikan shalat. Melupakan waktu yang
sangat berharga. Momen indah yang intim antara mereka dan Sang Khalik.
Jam-jam ketika anak-anak kita seharusnya mengaji, kini tersita acara prime time televisi.
Tidak ada papan besar berisi larangan beribadah, tapi pengalihan yang
dilakukan sedikit demi sedikit begitu halus sekaligus kuat hingga
berangsur shalat pun ditinggalkan.
Apakah orang tua akan mengizinkan anaknya menyaksikan tontonan
bermuatan pornografi yang mengumbar keseksian, termasuk pamer buah dada?
Tentu tidak. Kenyataannya, sekarang, banyak anak yang tanpa sadar
menjadi penikmat setia pornografi.
Mereka menonton televisi atau datang ke bioskop untuk mendapat
hiburan. Akan tetapi, dalam tayangan tersebut, secara selintas diselipi
belahan dada, tampilan seksi mempertontonkan aurat, adegan ciuman dan
percintaan, yang ikut mereka serap. Anak-anak menjadi konsumen
pornografi, bahkan saat ditemani orang tua, di rumah atau di bioskop.
Perlahan, mereka terbiasa dan terjerumus dalam jerat pornografi lebih
dalam.
Ketika perilaku menyimpang lesbian, gay, biseksual, dan
transgender (LGBT) masih ditentang masyarakat luas, tidak ada yang
serta-merta memprotes apa yang dipercaya publik. Pelan-pelan dan dengan
sabar, ide tersebut disebarkan melalui propaganda terselubung.
Awalnya, dari buku yang terbit, penelitian yang diklaim ilmiah, talkshow,
lalu yang paling kuat, melalui film dan tayangan televisi. Sebut saja,
serial "Friends", "Glee", "How to Get Away from Murder", "Scandal",
"Young and Hungry", atau film bioskop Brokeback Mountain, The Way He Looks, I Love You Philip Morris, dan lain-lain.
Selama puluhan tahun, film dan serial populer tersebut ikut
memperkenalkan betapa wajarnya cinta sesama jenis bahwa itu murni bawaan
lahir. Dunia pun semakin lumrah melihat adegan ciuman sesama jenis dan
sebagainya.
Setelah puluhan tahun menanamkan hal tersebut dengan lembut pada
masyarakat dunia, mereka mulai memanen hasilnya. Perkawinan sesama jenis
dilegalkan di banyak negara. Masyarakat akhirnya menerima. Abai dari
menyadari betapa pola pikir mereka telah bergeser akibat serangan
konsisten selama bertahun-tahun.
Ya, zaman sudah berubah. Jika dulu orang memaksakan kehendak dengan
hukuman, kekuatan militer, dan jalan kekerasan, kini banyak yang
melakukannya melalui propaganda tersamar.
Cara masuk yang halus ini sebenarnya lebih berbahaya karena akan
mengendap dalam alam tidak sadar. Secara perlahan, berkala, dan
intensif, akhirnya membelokkan kesadaran, menumbuhkan kecanduan. Ketika
sudah terpengaruh, kita mengira bahwa itu adalah pemikiran kita,
keinginan diri sendiri, padahal hasil dari investasi serangan halus yang
masuk ke pikiran dan berubah jadi kebiasaan, lalu mengkristal dalam
karakter.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan tegas melarang
penampilan kebanci-bancian di televisi karena menyadari ini sebagai
bentuk halus propaganda LGBT. Sesuatu yang belum dilakukan Badan Sensor
Film.
Para penggiat seni yang sadar akan kuatnya soft propaganda,
mulai berusaha membalik situasi. Mereka justru memperkenalkan dakwah dan
ajaran Islam melalui jalur buku, novel, film, dan media kreatif lain,
termasuk berprinsip untuk tidak menyelipkan konten porno dan
penyimpangan homoseksual, bahkan meski sekadar lelucon ringan.
Seiring perubahan era, dibutuhkan kemasan media lain untuk
menggencarkan dakwah, terutama yang ditujukan pada generasi muda yang
mungkin lebih sering ke tempat hiburan daripada pengajian. Berharap
semakin banyak produser dan penggiat seni yang berkomitmen dan setia
dengan jalur ini.
Kembali pada semua fenomena di atas, semoga mengusik kita untuk
kembali merenung dan mengkaji tugas setiap masing-masing untuk menjaga
diri dan keluarga dari jeratan halus di sekitar. Bangun kewaspadaan agar
diri dan keluarga yang kita cintai tidak menjadi korban propaganda
samar, tapi konsisten yang merusak secara perlahan, namun pasti.
Asma Nadia
sumber republika.co.id
No comments:
Post a Comment