Wednesday, September 16, 2015

Pemimpinku Inilah Nasehat Untukmu

Amirul Mukminin, Harun al-Rasyid, pergi menunaikan ibadah haji. Setelah melalui hari pertama di Mina, al-Rasyid berbincang-bincang malam bersama menterinya, Fadhl ibn Rabi’ hingga waktu tidur tiba. Fadhl pergi ke tendanya. Saat Fadhl sudah tertidur di pertengahan malam kedua, ia mendengar suara ketukan di pintu. “Siapa?” tanyanya. “Amirul Mukminin,” jawab al-Rasyid di depan pintu tenda. Fadhl bergegas bangkit dan keluar menemui al-Rasyid yang berdiri di depan pintunya. Fadhl berkata, “Mengapa Tuan tidak mengirim utusan saja untuk memanggilku? Aku pasti akan segera menghadap.”
            
Al-Rasyid menimpali, “Tidak apa-apa. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati. Menurutmu, adakah orang alim yang bisa aku tanyai?” Fadhl menjawab, “Ada, Sufyan al-Hilali, ahli hadis dan orang alim.” “Bawalah aku menemuinya,” kata al-Rasyid. Fadhl dan al-Rasyid mendatangi tenda Sufyan, mengetuk pintunya. “Siapa?” tanya Sufyan yang masih berada di dalam. “Amirul Mukminin.” Sufyan bergegas keluar dan melihat Amirul Mukminin berdiri di depan pintu. “Mengapa Tuan tidak mengirim utusan saja untuk memanggilku? Aku pasti akan segera menghadap.”
 
Al-Rasyid bertanya pada Sufyan, “Apakah engkau mempunyai tanggungan utang?” “Ya,” jawab Sufyan. Al-Rasyid lalu berkata pada Fadhl, “Lunasilah utangnya, Abu al-Abbas.” Fadhl dan al-Rasyid lalu pergi. Di jalan, al-Rasyid berkata, “Aku masih belum puas dengannya. Adakah orang lain yang bisa kutanyai?” Fadhl menjawab, “Ada. Ia Abdurrazaq ibn Hamam al-Humayri al-Shan’ani.” “Bawalah aku menemuinya,” kata al-Rasyid.
          
 Keduanya mendatangi tenda al-Shan’ani, mengetuk pintunya. “Siapa?” Fadhl menjawab, “Jawablah, di sini Amirul Mukminin.” Al-Shan’ani bergegas keluar dan melihat Amirul Mukminin di depannya. “Mengapa Tuan tidak mengirim utusan saja untuk memanggilku? Aku pasti akan segera menghadap.” Keduanya berbincang sesaat dengan al-Shan’ani hingga al-Rasyid berkata, “Apakah engkau mempunyai tanggungan utang?” “Ya,” jawab al-Shan’ani. Al-Rasyid lalu meminta kepada Fadhl, “Lunasilah utang-utangnya.” Setelah itu, keduanya pergi. “Aku masih belum puas dengannya. Adakah orang lain yang bisa kutanyai?,” tanya al-Rasyid pada Fadhl. Fadhl menjawab, “ada. Di sini ada Fudhayl ibn ‘Iyadh al-Tamimi, guru besar tanah haram.” “Bawalah aku menemuinya,” kata al-Rasyid. Keduanya segera pergi menuju tenda Fudhayl.
             
Setibanya di tempat tujuan, keduanya melihat Fudhayl tengah berdiri mengerjakan shalat dan membaca beberapa ayat Al-Quran yang diulang-ulang. Fadhl mengetuk pintu. “Siapa di luar?” Fadhl menjawab, “Temuilah Amirul Mukminin.” Dari dalam tenda, Fudhayl menimpali, “Apa urusanku dengan Amirul Mukminin?” Fadhl menyergah, “Subhanallah. Tidakkah engkau wajib menaatinya?” Fudhayl membuka pintu, lalu mematikan lampu tenda dan menunggu di bagian sudut tendanya. Keduanya melangkah masuk sambil meraba-raba karena gelap hingga tangan al-Rasyid menyentuh tangan Fudhayl. Seketika itu, Fudhayl berkata, “Alangkah lembutnya tangan ini seandainya kelak selamat dari siksa neraka.” Fadhl bergumam, “Fudhayl pasti akan mengajaknya berbincang semalam suntuk degan kata-kata santun dari hati yang tulus.”
           
Al-Rasyid berkata, “Penuhilah apa yang menjadi tujuan kami datang kepadamu.” Fudhayl berkata, “Engkau telah membebani dirimu sendiri. Semua orang yang bersamamu (rakyatmu) juga telah membebani dirimu. Seandainya engkau meminta mereka agar mau menanggung secuil dosamu, mereka pasti menolak. Ya! Orang yang sangat engkau cintai akan menjadi orang yang sangat ingin lari darimu.” Fudhayl diam sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya di heningnya kegelapan. Sementara itu, jantung al-Rasyid berdetak cukup kencang seperti detakan jarum jam.
          
Fudhayl meneruskan, “Saat menjabat khalifah, Amirul Mukminin Umar ibn Abdul Aziz pernah memanggil Salim ibn Qurthubi, dan Raja’ ibn Haywah, lalu berkata kepada mereka bertiga, ‘Aku telah diuji dengan musibah ini (kekuasaan). Berilak aku nasihat. ‘Salim berkata, ‘Jika engkau ingin selamat dari siksa neraka, cintailah umat Islam sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri. Setelah itu, silakan engkau mati kapan pun engkau mau.’ Fudhayl melanjutkan kata-katanya, “Aku mengatakan ini kepadamu karna aku sangat mengkhawatirkanmu pada hari saat banyak kaki terpeleset (masuk neraka). Apakah engkau dan orang-orang di sekitarmu menasihati semacam ini?”
           
 Mendengar kata-kata Fudhayl, Khalifah al-Rasyid langsung menangis sampai pingsan. Fadhl berkata, “Lebih lembutlah terhadap Amirul Mukminin.” Fudhayl menimpali, “Wahai Ibnu al-Rabi’, engkau dan teman-temanmu-lah yang sudah menjerumuskannya. Haruskah aku yang bersikap lembut kepadanya?!” Setelah siuman, al-Rasyid berkata, “Tambahkan lagi nasihat untukku.” Fudhayl mulai berbicara, “Aku pernah mendengar kabar bahwa seorang pejabat di masa Umar menulis surat kepada pejabat itu, ‘Saudaraku! Ingatlah betapa panjangnya penderitaan penghuni neraka di dalamnya, mereka kekals elamanya. Sungguh, demikian itu cukup membuatmu berlari menuju pangkuan Tuhan-mu, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Jadi, jangan sekali-kali berpaling dari sisi Allah menuju neraka hingga ia akan menjadi tempat terakhirmu dan pemupus harapanmu.’”
             
Fudhayl melanjutkan, “Setelah membaca surat Umar, pejabat tadi langsung keluar dari daerahnya hingga tiba menghadap Umar. ‘Apa yang membuatmu kemari?’ tanya Umar. Ia menjawab, ‘Suratmu telah menggugah hatiku, Amirul Mukminin. Tidak! Aku tidak akan pernah mau lagi memegang kekuasaan sampai aku berjumpa dengan Allah.’” Khalifah Harun al-Rasyid menangis lagi. Kali ini tangisannya lebih keras ketimbang yang pertama. Al-Rasyid lalu berkata, “Tambahkan lagi nasihat untukku.”
            
 Fudhayl berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Abbas (paman Nabi) pernah menemui Nabi dan berkata, ‘Berilah aku jabatan, Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Wahai Abbas! Menyelamatkan nyawa satu orang itu lebih baik daripada memegang jabatan tapi tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Kekuasaan menjadi sebab penyesalan dan kerugian besar pada hari kiamat kelak. Jika engkau mampu untuk tidak menjadi penguasa, lakukanlah!’” Harun al-Rasyid menangis lagi, lalu berkata, “Tambahkan lagi nasihat untukku. Semoga Allah merahmatimu.”
             
Fudhayl berkata, “Wahai pemilik wajah tampan! Dirimu yang akan ditanyai Allah soal wajah tampanmu ini pada hari kiamat kelak. Jika engkau bisa melindungi wajahmu dari jilatan api neraka, lakukanlah. Lalu, jangan sampai engkau memasuki pagi dan malam dengan menyimpan perasaan di hatimu ingin menipu rakyatmu. Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa yang memasuki pagi dalam keadaan ingin menipu rakyatnya maka ia takkan bisa mencium bau surga.”
            
 Al-Rasyid menangis lebih hebat, lalu bertanya, “Apakah engkau mempunyai tanggungan utang?” “Ya, utangku kepada Allah yang belum Dia tagih (hisab). Celakalah aku bila Dia sampai menanyaiku dan meminta pertanggungjawabanku! Celakalah aku bila Dia tidak mengilhamiku berhujjah di hadapan-Nya.” jawab Fudhayl. “Maksudku utang kepada sesama manusia?” tanya al-Rasyid menjelaskan. Fudhayl menjawab, “Tuhanku tidak memerintahkanku untuk berbuat itu. Dia memerintahkanku untuk memercayai janji-Nya dan menaati perintah-Nya.” Al-Rasyid lalu berkata, “Ini uang seribu dinar. Ambil dan gunakanlah untuk menafkahi keluargamu, juga untuk membuatmu lebih kuat dalam beribadah kepada-Nya.”
             
Fudhayl menolak pemberian al-Rasyid sembari berkata, “Subhanallah. Mahasuci Allah. Aku menuntunmu ke arah jalan keselamatan, tapi engkau membalasnya seperti ini? Semoga Allah menyelamatkanmu dan memberimu taufik.” Fadhl mengisahkan, “Fudhayl diam dan tidak berbicara apa-apa lagi. Kami pun keluar dari tendanya Al-Rasyid berkata, ’Jika nanti engkau membawaku menemui seseorang, bawalah aku kepada orang seperti ini".

1 comment: