Amirul Mukminin, Harun al-Rasyid, pergi menunaikan ibadah
haji. Setelah melalui hari pertama di Mina, al-Rasyid berbincang-bincang malam
bersama menterinya, Fadhl ibn Rabi’ hingga waktu tidur tiba. Fadhl pergi ke
tendanya. Saat Fadhl sudah tertidur di pertengahan malam kedua, ia mendengar
suara ketukan di pintu. “Siapa?” tanyanya. “Amirul Mukminin,” jawab al-Rasyid
di depan pintu tenda. Fadhl bergegas bangkit dan keluar menemui al-Rasyid yang
berdiri di depan pintunya. Fadhl berkata, “Mengapa Tuan tidak mengirim utusan
saja untuk memanggilku? Aku pasti akan segera menghadap.”
Al-Rasyid menimpali, “Tidak apa-apa. Aku merasa ada
sesuatu yang mengganjal di hati. Menurutmu, adakah orang alim yang bisa aku
tanyai?” Fadhl menjawab, “Ada, Sufyan al-Hilali, ahli hadis dan orang alim.”
“Bawalah aku menemuinya,” kata al-Rasyid. Fadhl dan al-Rasyid mendatangi tenda
Sufyan, mengetuk pintunya. “Siapa?” tanya Sufyan yang masih berada di dalam.
“Amirul Mukminin.” Sufyan bergegas keluar dan melihat Amirul Mukminin berdiri
di depan pintu. “Mengapa Tuan tidak mengirim utusan saja untuk memanggilku? Aku
pasti akan segera menghadap.”
Al-Rasyid bertanya pada Sufyan, “Apakah engkau mempunyai
tanggungan utang?” “Ya,” jawab Sufyan. Al-Rasyid lalu berkata pada Fadhl,
“Lunasilah utangnya, Abu al-Abbas.” Fadhl dan al-Rasyid lalu pergi. Di jalan,
al-Rasyid berkata, “Aku masih belum puas dengannya. Adakah orang lain yang bisa
kutanyai?” Fadhl menjawab, “Ada. Ia Abdurrazaq ibn Hamam al-Humayri
al-Shan’ani.” “Bawalah aku menemuinya,” kata al-Rasyid.
Keduanya mendatangi tenda al-Shan’ani, mengetuk pintunya.
“Siapa?” Fadhl menjawab, “Jawablah, di sini Amirul Mukminin.” Al-Shan’ani
bergegas keluar dan melihat Amirul Mukminin di depannya. “Mengapa Tuan tidak
mengirim utusan saja untuk memanggilku? Aku pasti akan segera menghadap.”
Keduanya berbincang sesaat dengan al-Shan’ani hingga al-Rasyid berkata, “Apakah
engkau mempunyai tanggungan utang?” “Ya,” jawab al-Shan’ani. Al-Rasyid lalu
meminta kepada Fadhl, “Lunasilah utang-utangnya.” Setelah itu, keduanya pergi.
“Aku masih belum puas dengannya. Adakah orang lain yang bisa kutanyai?,” tanya
al-Rasyid pada Fadhl. Fadhl menjawab, “ada. Di sini ada Fudhayl ibn ‘Iyadh
al-Tamimi, guru besar tanah haram.” “Bawalah aku menemuinya,” kata al-Rasyid.
Keduanya segera pergi menuju tenda Fudhayl.
Setibanya di tempat tujuan, keduanya melihat Fudhayl
tengah berdiri mengerjakan shalat dan membaca beberapa ayat Al-Quran yang
diulang-ulang. Fadhl mengetuk pintu. “Siapa di luar?” Fadhl menjawab, “Temuilah
Amirul Mukminin.” Dari dalam tenda, Fudhayl menimpali, “Apa urusanku dengan
Amirul Mukminin?” Fadhl menyergah, “Subhanallah. Tidakkah engkau wajib
menaatinya?” Fudhayl membuka pintu, lalu mematikan lampu tenda dan menunggu di
bagian sudut tendanya. Keduanya melangkah masuk sambil meraba-raba karena gelap
hingga tangan al-Rasyid menyentuh tangan Fudhayl. Seketika itu, Fudhayl
berkata, “Alangkah lembutnya tangan ini seandainya kelak selamat dari siksa
neraka.” Fadhl bergumam, “Fudhayl pasti akan mengajaknya berbincang semalam
suntuk degan kata-kata santun dari hati yang tulus.”
Al-Rasyid berkata, “Penuhilah apa yang menjadi tujuan
kami datang kepadamu.” Fudhayl berkata, “Engkau telah membebani dirimu sendiri.
Semua orang yang bersamamu (rakyatmu) juga telah membebani dirimu. Seandainya
engkau meminta mereka agar mau menanggung secuil dosamu, mereka pasti menolak.
Ya! Orang yang sangat engkau cintai akan menjadi orang yang sangat ingin lari
darimu.” Fudhayl diam sejenak, lalu melanjutkan kata-katanya di heningnya
kegelapan. Sementara itu, jantung al-Rasyid berdetak cukup kencang seperti
detakan jarum jam.
Fudhayl meneruskan, “Saat menjabat khalifah, Amirul
Mukminin Umar ibn Abdul Aziz pernah memanggil Salim ibn Qurthubi, dan Raja’ ibn
Haywah, lalu berkata kepada mereka bertiga, ‘Aku telah diuji dengan musibah ini
(kekuasaan). Berilak aku nasihat. ‘Salim berkata, ‘Jika engkau ingin selamat
dari siksa neraka, cintailah umat Islam sebagaimana engkau mencintai dirimu
sendiri. Setelah itu, silakan engkau mati kapan pun engkau mau.’ Fudhayl
melanjutkan kata-katanya, “Aku mengatakan ini kepadamu karna aku sangat
mengkhawatirkanmu pada hari saat banyak kaki terpeleset (masuk neraka). Apakah
engkau dan orang-orang di sekitarmu menasihati semacam ini?”
Mendengar kata-kata Fudhayl, Khalifah al-Rasyid langsung
menangis sampai pingsan. Fadhl berkata, “Lebih lembutlah terhadap Amirul
Mukminin.” Fudhayl menimpali, “Wahai Ibnu al-Rabi’, engkau dan
teman-temanmu-lah yang sudah menjerumuskannya. Haruskah aku yang bersikap
lembut kepadanya?!” Setelah siuman, al-Rasyid berkata, “Tambahkan lagi nasihat
untukku.” Fudhayl mulai berbicara, “Aku pernah mendengar kabar bahwa seorang
pejabat di masa Umar menulis surat kepada pejabat itu, ‘Saudaraku! Ingatlah
betapa panjangnya penderitaan penghuni neraka di dalamnya, mereka kekals
elamanya. Sungguh, demikian itu cukup membuatmu berlari menuju pangkuan
Tuhan-mu, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Jadi, jangan sekali-kali
berpaling dari sisi Allah menuju neraka hingga ia akan menjadi tempat
terakhirmu dan pemupus harapanmu.’”
Fudhayl melanjutkan, “Setelah membaca surat Umar, pejabat
tadi langsung keluar dari daerahnya hingga tiba menghadap Umar. ‘Apa yang
membuatmu kemari?’ tanya Umar. Ia menjawab, ‘Suratmu telah menggugah hatiku,
Amirul Mukminin. Tidak! Aku tidak akan pernah mau lagi memegang kekuasaan
sampai aku berjumpa dengan Allah.’” Khalifah Harun al-Rasyid menangis lagi.
Kali ini tangisannya lebih keras ketimbang yang pertama. Al-Rasyid lalu
berkata, “Tambahkan lagi nasihat untukku.”
Fudhayl berkata, “Wahai Amirul Mukminin! Abbas (paman
Nabi) pernah menemui Nabi dan berkata, ‘Berilah aku jabatan, Rasulullah.’
Beliau bersabda, ‘Wahai Abbas! Menyelamatkan nyawa satu orang itu lebih baik
daripada memegang jabatan tapi tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Kekuasaan
menjadi sebab penyesalan dan kerugian besar pada hari kiamat kelak. Jika engkau
mampu untuk tidak menjadi penguasa, lakukanlah!’” Harun al-Rasyid menangis
lagi, lalu berkata, “Tambahkan lagi nasihat untukku. Semoga Allah merahmatimu.”
Fudhayl berkata, “Wahai pemilik wajah tampan! Dirimu yang
akan ditanyai Allah soal wajah tampanmu ini pada hari kiamat kelak. Jika engkau
bisa melindungi wajahmu dari jilatan api neraka, lakukanlah. Lalu, jangan
sampai engkau memasuki pagi dan malam dengan menyimpan perasaan di hatimu ingin
menipu rakyatmu. Rasulullah bersabda, ‘Barang siapa yang memasuki pagi dalam
keadaan ingin menipu rakyatnya maka ia takkan bisa mencium bau surga.”
Al-Rasyid menangis lebih hebat, lalu bertanya, “Apakah
engkau mempunyai tanggungan utang?” “Ya, utangku kepada Allah yang belum Dia
tagih (hisab). Celakalah aku bila Dia sampai menanyaiku dan meminta
pertanggungjawabanku! Celakalah aku bila Dia tidak mengilhamiku berhujjah di
hadapan-Nya.” jawab Fudhayl. “Maksudku utang kepada sesama manusia?” tanya al-Rasyid
menjelaskan. Fudhayl menjawab, “Tuhanku tidak memerintahkanku untuk berbuat
itu. Dia memerintahkanku untuk memercayai janji-Nya dan menaati perintah-Nya.”
Al-Rasyid lalu berkata, “Ini uang seribu dinar. Ambil dan gunakanlah untuk
menafkahi keluargamu, juga untuk membuatmu lebih kuat dalam beribadah
kepada-Nya.”
Fudhayl menolak pemberian al-Rasyid sembari berkata, “Subhanallah.
Mahasuci Allah. Aku menuntunmu ke arah jalan keselamatan, tapi engkau membalasnya
seperti ini? Semoga Allah menyelamatkanmu dan memberimu taufik.” Fadhl
mengisahkan, “Fudhayl diam dan tidak berbicara apa-apa lagi. Kami pun keluar
dari tendanya Al-Rasyid berkata, ’Jika nanti engkau membawaku menemui seseorang,
bawalah aku kepada orang seperti ini".
Subhanallah...
ReplyDelete