Al Muzani gundah. Ia terserang penyakit pemikiran. Sesuatu
yang di masa itu dikenal dengan ilmu kalam.
Intinya, mendalami tauhid dan eksistensi ketuhanan Allah dengan
logika-logika rasional murni. Misalnya tentang sifat-sifat Allah yang
dipertanyakan dengan membandingkan sifat manusia. Tentang takdir, apakah
manusia punya hak pilih dalam prilaku atau terpaksa. Asal muasalnya juga
seputar kalam Allah, yaitu firman
Allah. Tetapi ngelantur soal bagaimana cara Allah bicara, dengan huruf atau
tidak. Apakah huruf itu diciptakan atau tidak. Begitu seterusnya.
Sebelum Imam Syafi’I dating ke negeri Al Muzani, Mesir, Al Muzani sering terseret mengunyah-ngunyah kerumitan logika seperti itu yang tengah marak. Al Muzani sendiri dikenal sebagai sosok muda yang sangat suka belajar sejak usia belia.
Sebelum Imam Syafi’I dating ke negeri Al Muzani, Mesir, Al Muzani sering terseret mengunyah-ngunyah kerumitan logika seperti itu yang tengah marak. Al Muzani sendiri dikenal sebagai sosok muda yang sangat suka belajar sejak usia belia.
Hari itu kegundahannya datang lagi. Ia pun datang menemui Imam Syafi’I, ulama
besar yang mulai menetap di negerinya, setelah sebelumnya menjadi ulama besar
di Mekkah dan Irak.
Imam Syafi’I marah seraya bertanya, “Tahukah kamu berada
dimana dirimu saat ini?”, “ya, di sini, di tempat ini,” jawab Al Muzani.
“Bukan, kamu sedang berada di Taron, sebuah tempat di lautan yang sangat
berbau, tempat di mana Firaun dan kaumnya ditenggelamkan”, jawab Imam Syafi’i.
Lalu Imam Syafi’i melanjutkan, “Pernahkah kamu mendengar
Rasulullah memerintahkan kita untuk menanyakan hal-hal seperti itu?”, “Tidak”,
jawab Al Muzani. “Kamu tahu jumlah bintang di langit dan kapan masing-masing
terbit serta kapan tenggelam?”. “Tidak” jawab Al Muzani. “Sesuatu yang kamu
bias melihat dengan mata saja kamu tidak tahu, sekarang kamu mau mengaduk-aduk
secara ngawur seputar masalah penciptanya?”. Kemudian Imam Syafi’i bertanya
lagi kepada Al Muzani tentang suatu masalah dalam soal wudhu.
“Tapi jawabanku salah” kenang Al Muzani. Lantas Imam Syafi’I membagi soal wudhu kepada empat hal. “Dan menanyakan satu persatu kepadaku. Tapi tidak ada satupun jawabanku yang benar”, kata Al Muzani. Maka Imam Syafi’i marah dan berkata lagi, “Bagaimana kamu ini, ilmu tentang sesuatu yang harusnya kamu ketahui (wudhu) karena kamu perlukan minimal lima kali setiap hari saja kamu tidak mengerti. Lalu kamu membebani dirimu dengan ilmu yang tidak jelas tentang Tuhan. Jika muncul rasa ragu di dalam dirimu, katakan, “Dan Tuhan kalian adalah Tuhan yang satu, tidak ada Tuhan selain Dia, dan Dia Maha pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah : 163)
Sesudah dialog itu Al Muzanibertaubat dan mendalami ilmu
fiqh, berguru kepada Imam Syafi’i. Kelak, Al Muzani merupakan salah satu murid
Imam Syafi’i yang berhasil menjadi tokoh besar. Ia juga berperan penting dalam
menyebarkan ilmu Imam Syafi’i. Imam Syafi’i pernah berkomentar, “Al Muzani
adalah penopang dan penyebar madzhabku”.
Salah satu karya Al Muzani yang terkenal adalah Mukhtasar Al Muzani. “Buku ini aku
ringkaskan dari ilmu Imam Syafi’i, kata Al Muzani. Ketika Imam Syafi’i wafat,
bahkan Al Muzani pula yang memandikan jenazahnya. Sesudah itu al Muzani dikenal
sebagai ulama besar dan mujtahid mutlak hingga akhir hayatnya.
Semoga bermanfaat.
Sumber Majalah Tarbawi 182 Th.10 Rajab 1429 H.
No comments:
Post a Comment