Friday, July 19, 2024

Mengawali Kebaikan Di Awal Tahun Hijriyah


Hadirin sidang jamaah jum'at yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala, 

Marilah sama-sama kita memanjatkan puji dan rasa syukur kita kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas nikmat yang tidak pernah terputus atas diri kita. Terus mengalir karunia dan kemudahan dalam menjalani kehidupan. Nikmat Iman, nikmat Islam, nikmat sehat, nikmat diberikan waktu sehingga selesailah seluruh aktivitas kegiatan dan kebutuhan kita sehari-hari. Maka selayaknyalah diri kita memuji Allah atas nikmat yang diberikan, Alhamdulillah. Sholawat dan salam bagi Nabi kita, Nabi besar Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, Kepada  keluarga beliau, sahabat beliau dan Insya Allah kepada umat beliau hingga akhir zaman.

Ittaqullah, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa yaitu menjalankan perintah Allah, meninggalkan larangan-Nya dan janganlah kita meninggalkan dunia yang sebentar ini kecuali diri kita membawa Iman, Islam dan Takwa, dalam keadaan menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta'ala, hari ini kita berada di hari Jum'at pertama di bulan Muharram 1446 Hijriah. Kita bersyukur hingga saat ini, Allah memberikan kesempatan bagi diri kita untuk membenahi, memperbaiki dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Tanpa kita sadari ada orang-orang yang tidak diberikan kesempatan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menikmati kebebasan, menikmati kehidupan hingga hari ini seperti diri kita. Maka bagi orang yang beriman, yang ingin mendapatkan ketakwaan, setiap waktu adalah anugerah. Anugerah untuk mendapatkan kebaikan, anugerah untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, anugerah untuk menggugurkan dosanya di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, kemuliaan bagi dirinya adalah dekat dan disucikan oleh Allah subhanahu wa taala. 

Banyak di antara kita yang tidak mengetahui dan mengenal bahwa agama kita memiliki penghitungan kalender tersendiri. Kebanyakan kita mengenal bulan-bulan nasional, tapi banyak di antara kita tidak mengetahui 12 bulan yang dimaksud dalam agama kita. Bulan Muharam, Safar, Rabiul Awwal, Rabiul Akhir, Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa'dah dan Dzulhijah. Kebanyakan kita hanya mengenal bulan didalam agama Islam hanya bulan Ramadhan dan juga bulan Syawal. Betapa sedikitnya pengetahuan dan pemahaman kita tentang waktu yang diatur dalam agama kita.

Hadirin jamaah sidang Jumat yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala, setiap waktu yang baru menjadi momentum bagi orang-orang yang menginginkan kebaikan, yang menginginkan keuntungan. Apabila ia memiliki amanah tangung jawab untuk memajukan usaha, maka ia akan mengevaluasi di awal waktu. Apakah di waktu yang lalu perdagangannya mengalami keuntungan, apakah di waktu yang telah lalu perdagangannya mendapatkan kerugian, bagaimana agar di masa yang akan datang tidak terjadi kerugian yang sama, bagaimana di masa yang akan datang mendapatkan keuntungan yang lebih daripada tahun yang lalu. Kebanyakan orang untuk memajukan suatu usaha akan mengevaluasi apa yang harus dipikirkan, apa yang harus dilakukan di awal waktu yang baru.

Orang beriman demikian pula, ia melakukan perdagangan dengan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Ia melihat waktu yang lalu, sudah berapa banyak waktu yang digunakan untuk kebaikan, berapa banyak yang belum ia lakukan untuk kebaikan dan ia akan merencanakan kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang agar ia tidak termasuk orang-orang yang merugi, orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah dan tidak mendapatkan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta''ala.

Di dalam al-quran ada surat pendek, ayat pendek begitu mudah kita hafal,

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

وَالْعَصْرِۙ

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

"Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran". (QS. Al Asr : 1-3)

Allah subhanahu wa taala pun mengingatkan bagaimana diri kita memandang masa yang akan datang.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan". (QS. Al Hasyr : 18)

Lihatlah masa depanmu dan persiapkanlah apa-apa saja untuk yang ada di masa depan, baik masa depan dunia Maupun di akhirat kelak. Hari ini, di dunia ini, diri kita mempersiapkan bekal sebaik-baiknya, baik bekal untuk keluarga kita, bekal masa tua kita maupun bekal di mana kita sudah tidak lagi di dunia. 

Hadirin sidang jum'at yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta'ala, marilah kita memperbaharui niat kita untuk memperbaiki diri di awal waktu, di tahun yang baru ini agar benar-benar tahun ini menjadi tahun yang lebih baik, tahun yang penuh keberkahan bagi diri kita dalam mendapatkan ampunan Allah, dalam mendapatkan kasih sayang Allah.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengingatkan tentang orang-orang yang berhijrah. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berhijrah dari Makkah ke Madinah, kemudian ada orang-orang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah bukan karena ingin mendapatkan keridhoan Allah dan mendapatkan kecintaan baginda Rasulullah SAW, tetapi ia ingin mendapatkan wanita yang ingin dinikahinya. Maka rasulullah mengingatkan kepada kita semua.

الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

"Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; barangsiapa niat hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan.". (HR. Bukhori No. 52)

Seluruh amal yang kita kerjakan tergantung pada niat yang ada pada diri kita, siapa saja yang berhijrah yang berpindah, bergerak melakukan perbaikan karena Allah dan Rasul Nya, maka berpindahnya dia, beralihnya dia, berubahnya dia, maka ia mendapatkan keridhoan dan ampunan Allah serta kecintaan baginda Rasulullah. Siapa saja yang berhijrah merubah dirinya karena isi dunia atau karena perempuan  yang ingin dinikahinya, maka perbaikan, perpindahan yang dilakukan itu akan mendapatkan apa yang dia niatkan. ia akan mendapatkan baik dunia maupun istri yang ingin dinikahinya.

Oleh karena itu senantiasalah diri kita mengulang-ulang bahwa diri kita melakukan kebaikan hanya lillahi taala, lillahi taala, lillahi taalaa. 

Sesungguhnya yang ingin kita dapatkan adalah keridaan Allah keridaan Baginda Rasulullah Sallallahu Alaihi was semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik bagi diri kita, dalam berusaha memperbaiki diri, mendekatkan diri kita kepada Allah subhanahu wa taala.


Abiyelkahfi

@Masjid Ashabul Kahfi/12 Juli 2024

Sunday, July 23, 2023

Gadis penjual susu dan cara Umar bin Khattab mempersiapkan generasi



Dua umar bagi  umat Islam, bukanlah nama yang asing, yaitu Umar bin Abdul Aziz dan kakeknya Umar bin Khattab.  Pada awal kenabian, Umar bin Khattab adalah orang yang sangat menentang kenabian Nabi Muhammad Saw.

Akan tetapi,  siapa yang menyangka, bahwa  Alloh menghadirkan hidayah di hati Umar, sehingga hatinya luluh dan beliau memeluk Islam. Bukan hanya itu, Umar juga menjelma menjadi orang yang terdepan dalam membela dan mensyiarkan agama Islam.

Begitupun Umar bin Abdul Aziz sang Khalifah yang melegenda dikenal dengan keadilannya. Sehingga pada masanya, tidak ada lagi mustahik yang mau menerima zakat. Karena semua rakyatnya makmur dan tercukupi segala kebutuhannya.

Umar bin Abdul Aziz dan Umar bin Khattab ternyata memiliki pertalian nasab. Umar bin Khattab adalah kakek buyut dari Umar bin Abdul Aziz. Pertalian nasabnya, berasal dari pihak ibunya yakni Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab.

Ayah Umar bin Abdul Azis ialah putra dari Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam salah satu gubernur piliahan dari Bani Umayyah. Yang dikenal dengan laki-laki Sholeh, pemberani dan sangat dermawan.
Ia pernah menjabat gubernur Mesir lebih dari dua puluh tahun. Diantara bukti keshalihan dan kebersihan hatinya adalah; ketika dia hendak menikah,  ia memanggil orang kepercayaannya dan berkata "kumpulkan empat ratus Dinar dari hartaku yang halal, aku ingin menikah dengan seorang wanita dari keluarga yang shalih".

Ibunya adalah Ummu Ashim atau nama aslinya Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab, cucu Umar bin Khattab dari anaknya Ashim bin Umar bin Khattab seorang ahli fikih yang mulia lahir pada zaman kenabian. 

Laila adalah anak dari pernikahannya dengan dengan Jamilah binti Tsabit bin al-aqlah al-anshariyah. Kisah pernikahan Ashim dan Jamilah sangat unik dan menarik. 

Diriwayatkan Abdullah bin Zubair bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya Aslam, "pada suatu malam aku sedang menemani Umar bin Khattab berpatroli di Madinah. 

Ketika beliau merasa lelah, beliau bersandar di dinding sebuah rumah, waktu menunjukkan tengah malam. Beliau mendengar seorang wanita berkata kepada putrinya, "wahai putriku, campurlah susu itu dengan air". Putrinya menjawab, "wahai ibunda apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin hari ini?"

Lalu sang ibu bertanya, "wahai putriku, apa maklumatnya? Putrinya berkata, "Dia memerintahkan petugas untuk mengumumkan, hendaknya susu tidak dicampur dengan air".

Ibunya berkata "lakukan saja, campurlah susu itu dengan air, kita sedang tidak dilihat oleh Umar dan petugasnya". Lalu gadis itu menjawab, "Ibu, tidak layak bagiku menaati Amirul Mukminin didepan khalayak namun aku menyelisihinya di belakangnya.

Setelah mendengar semua percakapan tersebut lalu Umar berkata kepada Aslam, "tandai pintu rumah ini dan ingatlah tempat ini". Lalu Umar bergegas melanjutkan patrolinya.

Di pagi harinya Umar berkata kepada Aslam, "pergilah kerumah tadi malam, cari tahu siapa wanita yang berkata demikian itu, dan kepada siapa dia berkata? Apakah keduanya mempunyai suami?". 
Lalu Aslam bergegas menuju rumah itu dan ternyata wanita itu belum bersuami dan ibunya adalah seorang janda ternyata  lawan bicara wanita itu adalah ibunya. Lalu Aslam  pulang kerumah Umar dan mengabarkan hal tersebut, kemudian Umar memanggil putra-putranya dan berkata, "adakah diantara kalian yang ingin menikah?". 

Ashim menjawab, "ayah aku belum beristri, nikahkanlah aku". Maka Umar maminang gadis itu dan menikahkannya dengan Ashim. Dari pernikahan keduanya lahirlah Laila binti Ashim bin Umar bin Khattab yang kelak menjadi ibunya Umar bin Abdul Aziz. 

Umar bin Abdul Aziz memiliki sembilan saudara,  salah satunya adalah  Ashim yang kemudian menjadi kunyah ibunya yakni Ummu Ashim. Umar bin Abdul Aziz lahir di Madinah pada tahun 61 H, pada masa Yazid bin Muawiyah menurut Adz-Dzahabi. Ini adalah pendapat yang rajih manurut mayoritas ulama.

Umar bin Abdul Aziz dijuluki al-asyaj (yang terluka diwajahnya) atau Asyaj Bani Umayyah.  Dikisahkan diwaktu Umar kecil, ia masuk kekandang kuda milik ayahnya untuk melihat-lihat kuda, tiba-tiba seekor kuda menyepak wajahnya hingga terluka.

Lalu ayahnya menghampirinya dan mengusap dari luka diwajahnya seraya berkata, "Jika kamu adalah Asyaj Bani Umayyah,  maka kamu adalah orang yang paling bahagia".

Suatu ketika saudaranya Al-Ashbagh melihat bekas luka diwajahnya dan ia bertakbir "Allohu Akbar" seraya berkata, " Ini dia Asyaj Bani Marwan yang akan menjadi pemimpin atau dalam riwayat lain inilah Asyaj Bani Marwan yang akan berkuasa". 

Jauh sebelum Umar bin Abdul Aziz lahir sang kakek buyut Umar bin Khattab telah bermimpi bahwa salah satu dari keturunannya kelak akan menjadi pemimpin.

Sebagaimana yang diriwayatkan bahwa pada suatu malam Umar bin Khattab bermimpi, dia berkata, " Aduhai seandainya mimpiku adalah termasuk tanda salah seorang dari keturunanku yang akan memenuhinya dengan  keadilan setelah sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman.  

Dalam riwayat yang  lain dikatakan bahwa Umar bin Khattab pernah berkata, " Diantara anak keturunanku terdapat seorang laki-laki dengan tanda di wajahnya, dia akan memenuhi bumi ini dengan keadilan".  

Mimpi Umar bin Khattab terulang beberapa kali sehingga mimpi tersebut masyhur dikalangan masyarakat kala itu. Diriwayatkan abdulah bin Umar " Pada awalnya keluarga Al-khattab mengira bahwa Bilal bin Abdullah lah laki-laki yang dimaksudkan oleh Umar  karena ia juga memiliki tanda diwajahnya, hingga Alloh kemudian menghadirkan Umar bin Abdul Aziz".

Bukti rajihnya  menurut para ulama adalah ketika ayah Umar bin Abdul Aziz mengusap darah yang keluar dari luka di wajahnya dan kata saudaranya ketika melihat tanda luka diwajah Umar bin Abdul Aziz.

Bane Difa

Friday, July 21, 2023

Selagi Ada Umur, Selagi Di Awal Tahun


 

Dari Ibnu Umar ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

“Jika engkau di waktu sore janganlah menunggu hingga pagi, jika engkau di waktu pagi janganlah menunggu hingga sore. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum engkau sakit dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum engkau mati.”

(HR. Bukhari)[1]

 

Bismillahirrahmanirrahiim,

Alhamdulillah kita bersyukur atas nikmat yang terus mengalir dalam kehidupan ini, nikmat yang begitu banyak salah satunya adalah nikmat diberikan kesempatan usia hingga hari ini. Semoga kita dapat menjadi hamba yang terus bersyukur atas melimpahnya kenikmatan yang ada pada diri kita, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin. Tidak lupa kita banyak bersholawat di hari yang penuh dengan keagungan, keberkahan dan ampunan ini Allahuma sholi ‘alaa sayidina Muhammad wa ‘alaa aali sayidina Muhammad.

 

Tibalah kita di bulan pertama di tahun yang baru dalam kalender hijriyah, bulan Muharam 1445 H. Bulan Muharam masih termasuk bulan yang dimuliakan oleh Allah (bulan-bulan haram) selain bulan Dzulqadah, Dzulhijjah dan Rajab. Dibulan Muharam ini hendaklah kita terus meningkatkan dan memperbanyak  amalan-amalan yang semakin mendekatkan diri kita kepada Allah. Karena nilai amal yang dilakukan dibulan-bulan haram lebih disenangi dan dicintai oleh Allah SWT.

 

Salah satu amalan yang dapat dilakukan dibulan Muharam adalah puasa sunah tanggal 9 dan 10 Muharam. Puasa yang dilakukan tanggal 9 Muharam disebut dengan puasa tasu’a dan puasa pada tanggal 10 Muharam disebut dengan puasa Asyura. “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”.[2]

Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus; karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. [3]

 

Ibnu Rajab mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja.”[4]

 

Selain ibadah puasa, di tahun baru ini marilah kita banyak bermuhasabah, mengintrospeksi diri kita sendiri. Catatan amal di tahun lalu (1444 H) telah ditutup, seluruh amal baik maupun amal buruk yang dilakukan telah tercatat dengan sempurna tidak ada yang dapat merubah catatan amal kita kecuali kita bertaubat dan memperbaiki kesalahan-kesalahan kita di masa lalu.

 

Selagi umur masih ada, selagi masih di awal buku catatan yang baru marilah bertekad mengisi lembaran-lembaran buku amal kita dengan tinta emas kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT. Yang lalu biarlah berlalu, menjadi pengalaman untuk memperbaiki diri hari ini dan masa yang akan datang.

 

Taubat adalah kembali kepada Allah dari perkara yang Dia benci secara lahir dan batin menuju kepada perkara yang Dia senangi. Menyesali atas dosa yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga dan bertekad untuk tidak mengulanginya kembali. Taubat adalah tugas seumur hidup.[5]

 

Maka kewajiban bagi seorang muslim apabila terjatuh dalam dosa dan maksiat untuk segera bertaubat, tidak menunda-nundanya, karena dia tidak tahu kapan kematian akan menjemput. Dan juga perbuatan jelek biasanya akan mendorong untuk mengerjakan perbuatan jelek yang lain. Apabila berbuat maksiat pada hari dan waktu yang penuh keutamaan, maka dosanya akan besar pula, sesuai dengan keutamaan waktu dan tempatnya. Maka bersegeralah bertaubat kepada Allah.[6]

 

Hasbunallah wa ni’mal wakil, ni’mal mawla wa ni’man nashir.

Abiyelkahfi

@masjid ashabul kahfi/3 Muharam 1445 H



[1] Hadis Arbain, Imam An Nawawi Hadis ke 40

[2] HR. Muslim

[3] https://rumaysho.com/2956-anjuran-puasa-muharram.html

[4] https://rumaysho.com/2956-anjuran-puasa-muharram.html

[5] https://muslim.or.id/23078-amalan-di-bulan-muharram.html

[6] https://muslim.or.id/23078-amalan-di-bulan-muharram.html

Friday, July 14, 2023

Semoga Menjadi Haji Mabrur


Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :

“Umrah satu sampai umrah berikutnya merupakat kafarat (pelebur dosa) terhadap dosa yang ada diantara kedua umrah itu. Dan haji mabrur tidak ada lain balasannya kecuali syurga.”

(HR. Bukhari & Muslim)[1]

 

Satu persatu saudara, kerabat dan sahabat kita yang menunaikan ibadah haji telah kembali ke tanah air. Tidak ada do’a yang kita panjatkan selain mereka semua menjadi haji yang mabrur, haji yang diterima oleh Allah SWT aamiin yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Tahun ini paling tidak 229.000 jama’ah haji dari Indonesia menjadi bagian dari 2 juta lebih jama’ah haji dari berbagai belahan dunia. Bertemu, berkumpul melakukan ritual ibadah yang sama, pakaian yang sama dan kalimat dzikir yang sama. Labbaik Allahuma labbaik, Labbaika laa syarika laka labbaik, Innal hamda wan ni’mataka wal mulk laa syarika laka. Tidak ada kegaduhan, ketakutan dalam lautan manusia ketika mereka wuquf di arafah, tidak ada kebencian dan permusuhan ketika thawaf memutari ka’bah. Semua bersatu padu dalam jalinan persaudaraan islam apapun bangsa, bahasa dan warna kulitnya.

Haji adalah ekspresi dari ikatan ukhuwah Islamiyah, yaitu ketika setiap muslim merasa bahwa ia adalah saudara bagi setiap muslim lainnya yang berada diseluruh belahan dunia. Ia adalah ekspresi dari ajaran persamaan antara seluruh bangsa yang ada jika mereka telah masuk Islam. Haji adalah pengamalan dari firman Allah SWT, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal...” (QS. Al Hujurat : 13)[2]

Ibadah haji merupakan simbol penyerahan dan ketundukan total manusia kepada Allah SWT karena mereka dengan patuhnya menjalankan semua amalan-amalan yang terdapat di dalam ibadah haji yang diperintahkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Mereka tidak peduli hakikat dari apa yang sebenarnya mereka kerjakan di dalam ibadah haji tersebut, selama hal itu memang datangnya dari Allah SWT maka mereka akan melaksanakan nya dengan penuh kepatuhan dan ketundukan. Amalan-amalan yang terdapat di dalam ibadah haji seperti thawaf, wuquf, sa’i, mencukur rambut dan yang lainnya tidak lain adalah simbol-simbol ketundukan dan penyerahan total seorang muslim kepada Allah SWT di dalam semua yang diperintahkan oleh-Nya.[3]

Ibadah haji, sholat Idul adha dan menyembelih hewan qurban merupakan syi’ar-syi’ar Allah SWT yang harus kita jaga dan kita agungkan. Karena didalam pengagungan kepada hal-hal tersebut akan menambah dan menguatkan ketakwaan di hati kita. Allah berfirman, “Barang siapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj : 32). Seluruh ibadah yang dilakukan oleh kaum muslimin semata-mata karena ingin menegakkan dan menguatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.

Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan,”Hakikat taqwa adalah menaati Allah atas dasar Iman dan ihtisab (mengharapkan balasan Allah) baik terhadap perkara yang diperintah ataupun yang dilarang. Maka dia melakukan perintah itu karena Imannya terhadap yang diperintahkan-Nya dan disertai dengan pembenaran terhadap janji-Nya. Dan dengan Imannya itu juga ia meninggalkan yang dilarang-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”[4] Taqwa lahir sebagai konsekwensi logis dari keimanan yang kokoh, keimanan yang selalu dipupuk dengan muqorobatullah; merasa takut terhadap murka dan adzab-Nya, dan selalu berharap atas limpahan karunia dan maghfirah-Nya (Ampunan-Nya).[5]

Akhirnya kitapun harus iri terhadap saudara, kerabat dan sahabat kita yang telah menunaikan ibadah haji karena telah menyempurnakan rukun Islam. Iri karena telah dihapuskan dosa-dosanya dan dijanjikan syurga oleh Allah SWT. Semoga Allah SWT memberikan kesempatan bagi diri kita, orang tua dan keluarga kita untuk dapat menyempurnakan rukun Islam dan meraih ampunan dan ridho-Nya.

 

Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal mawla wa ni’man nashiir

Abiyelkahfi

https://docs.google.com/document/d/1NhNJN-XUGPdEB1qevCLzEmK9nnflRDVJgMeqFFGX8ew/edit?usp=sharing



[1] Riyadhus Shalihin, Imam An Nawawi Bab Haji Hal. 258

[2] Al Islam, Said Hawwa hal.255

[3] Al Islam, Said Hawwa hal.255

[4] Hakikat Taqwa & Mutiaranya Yang Terpendam, Ahmad Farid hal. 11

[5] Tarbiah Ruhiah Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa, DR. Abdullah Nasih ‘Ulwan hal. 6

Thursday, April 9, 2020

KEUTAMAAN SHALAT



Dari Ibnu Umar ra[1]. Berkata, Rasulullah saw[2]. Bersabda, “Agama Islam dibangun atas lima perkara : Bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, shaum pada bulan Ramadhan dan Haji ke Baitullah.”
(HR. Bukhari-Muslim)

Keterangan :
Kelima hal di atas adalah rukun Islam yang terpenting dan terbesar. Agama Islam diibaratkan oleh Rasulullah saw. Seperti sebuah kemah yang disangga oleh lima buah tiang. Tiang tengahnya adalah kalimat syahadat, dan empat tiang lainnya adalah tiang-tiang pendukung setiap penjuru kemah tersebut. Tanpa tiang tengah, kemah tersebut tidak akan dapat berdiri tegak. Apabila salah satu dari keempat tiang lainnya tidak ada, kemah tetap berdiri, tetapi sudut yang tidak bertiang itu akan menjadi miring. Berdasarkan hadis di atas, marilah kita melihat diri kita sendiri, sejauh manakah kita telah menegakkan agama Islam ini? Benarkah kita telah menegakkan setiap tiangnya dengan sempurna?

Lima tiang yang disebutkan dalam hadis diatas menunjukkan kewajiban-kewajiban yang penting bagi seorang muslim. Sungguhpun setiap muslim tidak mampu menegakkan seluruh tiang tersebut, dalam Islam shalat adalah tiang yang terpenting setelah iman. Abdullah bin Mas’ud ra. Berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Amalan apakah yang paling di cintai oleh Allah swt.?” Jawab Rasulullah saw. “Shalat.” Kemudian saya bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Berbuat baik kepada orang tua.” Kemudian saya bertanya lagi, “lalu apa?” Jawab Nabi saw., “Jihad.”

Mulla Ali Qari rah[3]. Menyatakan bahwa para ulama telah menjadikan hadis ini sebagai dalil bahwa shalat merupakan kewajiban Islam yang terpenting setelah iman. Hal ini diperkuat lagi oleh sabda Nabi saw, : “shalat adalah sebaik-baik ketetapan Allah."

Selain hadis tersebut, masih banyak hadis lainnya yang menjelaskan bahwa amalan manusia yang terbaik adalah shalat. Dalam kitab Jami’us Shagir disebutkan bahwa ada lima orang sahabat yang telah meriwayatkan hadis di atas, yaitu Tsauban ra., Ibnu Umar ra., Salman ra., Abu Umamah ra., dan Ubadah ra. Ibnu Mas’ud ra dan Anas ra. Meriwayatkan bahwa amalan yang paling utama adalah shalat tepat pada waktunya. Ibnu Umar ra. Dan Ummu Farwah juga meriwayatkan bahwa shalat tepat pada waktunya merupakan amalan yang paling utama. Semua hadis ini memperkuat maksud hadis di atas.

Sumber :
Kitab Fadhilah Amal Bab Keutamaan Shalat Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandahlawi rah.



[1] Ra. : radhiyallahu anhu
[2] Saw. : shalallahu alaihi wa salam
[3] Rah. : rahmata alaihi

Wednesday, April 8, 2020

Persiapan Menyambut Bulan Ramadhan


“Ya Allah berkatilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan” (HR. Ahmad & At-Tabrani)

Saudaraku seiman yang saya cinta karena Allah SWT, tidak terasa bulan suci, bulan magfirah, bulan penuh rahmat, bulan diturunkannya Al-Qur’an, bulan yang didalamnya terdapat lailatul qadr yang dinanti-nati sudah dihadapan mata. Hanya hitungan hari menuju bulan mulia itu. Karena kemuliaan dan spesialnya bulan tersebut maka sudah seharusnya kita sebagai ummat Islam mempersiapkan diri dan keluarga.

Persiapan disini kami maksud bukan hanya menunggu datangnya bulan Ramadhan. Tetapi persiapan disini adalah mempersiapkan bekal untuk bekal di bulan Ramadhan. Tujuan mempersiapkan bekal ini bermaksud untuk mengoptimalkan ibadah kita pada bulan yang didalamnya terdapat malam lebih dari 1000 bulan. Ada beberapa hal yang penting untuk dipersiapkan antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, Persiapan Ruhiyah. Rasulullah memberikan contoh kepada kita untuk senantiasa mempersiapkan diri untuk menyambut pausa. Aisyah pernah berkata, “Rasulullah SAW tidak pernah berpuasa sunnah di satu bulan lebih banyak daripada bulan Sya’ban. Sungguh, beliau berpuasa penuh pada bulan Sya’ban”. (HR. Bukhari).

Ibadah lain juga harus dipersiapkan seperti perbanyak tilawah, qiamulail, shalat fardhu bejamaah di masjid, al-ma’tsurat kubra pagi dan petang. Hal ini dimaksudkan agar sejak bulan Sya’ban kadar keimanan kita sudah meningkat. Boleh dikiaskan, bulan Rajab dan Sya’ban adalah masa warming up sehingga ketika memasuki Ramadhan kita sudah bisa menjalani ibadah shaum dan sebagainya itu sudah menjadi hal yang biasa. Orang sadar maupun yang tersadarkan memahami bahwa mempersiapkan keimanan itu bukan hanya pada bulan Sya’ban ini saja. Tetapi dipersiapkan disetiap hari, namun pada momentum ini diharapkan untuk meningkatkan persiapannya. Bulan Sya’ban ini juga bisa dikatakan sebagai bulan batu loncatan untuk optimalisasi ibadah di bulan Ramadhan nanti.

Kedua, Persiapan Jasadiyah. Untuk memasuki Ramadhan kita memerlukan fisik yang lebih prima dari biasanya. Sebab, jika fisik lemah, bisa-bisa kemuliaan yang dilimpahkan Allah pada bulan Ramadhan tidak dapat kita raih secara optimal. Maka, sejak bulan sya’ban ini mari persiapkan fisik seperti olah raga teratur, membersihkan rumah, makan-makanan yang sehat dan bergizi.

Ketiga, Persiapan Maliyah. Persiapan harta ini bukan untuk membeli keperluan buka puasa atau hidangan lebaran sebagaimana tradisi kita selama ini. Mempersiapkan hara adalah untuk melipatgandakan sedekah, karena Ramadhanpun merupakan bulan memperbanyak sedekah. Pahala bersedekah pada bulan ini berlipat ganda dibandingkan bulan-bulan biasa.

Keempat, Persiapan Fikriyah. Agar ibadah Ramadhan bisa optimal, diperlukan bekal wawasan yang benar tentang Ramadhan. Mu’adz bin Jabal r.a berkata: “Hendaklah kalian memperhatikan ilmu, karena mencari ilmu karena Allah adalah ibadah”. Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah mengomentari atsar diatas, ”Orang yang berilmu mengetahui tingkatan-tingkatan ibadah, perusak-perusak amal, dan hal-hal yang menyempurnakannya dan apa-apa yang menguranginya”.
Oleh karena itu, ketika orang mau beramal tentulah harus mempunyai ilmu, jika tidak bisa-bisa akan menjadi banyak kerusakan. Cara untuk mempersiapkan ini antara lain dengan membaca berbagai bahan rujukan dan menghadiri majelis ilmu tentang Ramadhan. Kegiatan ini berguna untuk mengarahkan kita agar beribadah sesuai tuntutan Rasulullah SAW, selama Ramadhan. Menghafal ayat-ayat dan doa-doa yang berkait dengan berbagai jenis ibadah, atau menguasai berbagai masalah dalam fiqh puasa, dan juga penting untuk dipersiapkan.

Semoga persiapan kita mengantarkan ibadah shaum dan berbagai ibadah lainnya, sebagai yang terbaik dalam sejarah Ramadhan yang pernah kita lalui. Demikian tips persiapan untuk menyambut bulan ramadhan, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bishawab


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/06/30/36030/persiapan-menyambut-bulan-ramadhan/#ixzz6Iy4Jp9hp

Tuesday, April 7, 2020

Keistimewaan dan Amalan Bulan Syaban


Ada beberapa hadis shahih yang menunjukkan keistimewaan di bulan Sya’ban, di antara amalan tersebut adalah memperbanyak puasa sunnah selama bulan Sya’ban.

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau mengatakan,

يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لاَ يَصُومُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa beberapa hari sampai kami katakan, ‘Beliau tidak pernah tidak puasa, dan terkadang beliau tidak puasa terus, hingga kami katakan: Beliau tidak melakukan puasa. Dan saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan, saya juga tidak melihat beliau berpuasa yang lebih sering ketika di bulan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Aisyah mengatakan,

لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

“Belum pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa satu bulan yang lebih banyak dari pada puasa bulan Sya’ban. Terkadang hampir beliau berpuasa Sya’ban sebulan penuh.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Aisyah mengatakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَفَّظُ مِنْ هِلَالِ شَعْبَانَ مَا لَا يَتَحَفَّظُ مِنْ غَيْرِهِ، ثُمَّ يَصُومُ لِرُؤْيَةِ رَمَضَانَ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْهِ، عَدَّ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، ثُمَّ صَامَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian terhadap hilal bulan Sya’ban, tidak sebagaimana perhatian beliau terhadap bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa ketika melihat hilal Ramadhan. Jika hilal tidak kelihatan, beliau genapkan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa’i dan sanad-nya disahihkan Syaikh Syu’aib Al Arnauth)

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha mengatakan,

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ مِنَ السَّنَةِ شَهْرًا تَامًّا إِلَّا شَعْبَانَ، وَيَصِلُ بِهِ رَمَضَانَ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah puasa satu bulan penuh selain Sya’ban, kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (HR. An Nasa’i dan disahihkan Al Albani)

Hadis-hadis di atas merupakan dalil keutamaan memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, melebihi puasa di bulan lainnya.

Apa Hikmahnya?

Ulama berselisih pendapat tentang hikmah dianjurkannya memperbanyak puasa di bulan Sya’ban, mengingat adanya banyak riwayat tentang puasa ini.

Pendapat yang paling kuat adalah keterangan yang sesuai dengan hadis dari Usamah bin Zaid, beliau bertanya: “Wahai Rasulullah, saya belum pernah melihat Anda berpuasa dalam satu bulan sebagaimana Anda berpuasa di bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

“Ini adalah bulan yang sering dilalaikan banyak orang, bulan antara Rajab dan Ramadhan. Ini adalah bulan dimana amal-amal diangkat menuju Rab semesta alam. Dan saya ingin ketika amal saya diangkat, saya dalam kondisi berpuasa.” (HR. An Nasa’i, Ahmad, dan sanadnya dihasankan Syaikh Al Albani)

Memperbanyak Ibadah di Malam Nishfu Sya’ban

Ulama berselisih pendapat tentang status keutamaan malam nishfu Sya’ban. Setidaknya ada dua pendapat yang saling bertolak belakang dalam masalah ini. Berikut keterangannya:

Pendapat pertama, tidak ada keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Statusnya sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan bahwa semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban adalah hadis lemah. Al Hafidz Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah –dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban– mengatakan, “Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam nishfu Sya’ban’.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, Hal. 33).

Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan nishfu Sya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nishfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam nishfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, Hal. 11)

Sementara riwayat yang menganjurkan ibadah khusus pada hari tertentu di bulan Sya’ban untuk berpuasa atau qiyamul lail, seperti pada malam Nisfu Sya’ban, hadisnya lemah bahkan palsu. Di antaranya adalah hadis yang menyatakan,

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ مِنْ شَعْبَانَ فَقُوْمُوْا لَيْلَهَا وَصُوْمُوْا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللهَ يَنْزِلُ فِيْهَا لِغُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُوْلُ أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam, lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah: 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman: 3/378)

Keterangan:

Hadits ini dari jalan Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadis ini statusnya hadis maudhu’/palsu, karena dalam sanadnya ada perawi bernama Ibnu Abi Sabrah yang tertuduh berdusta, sebagaimana keterangan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam at-Taqrib . Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkomentar tentangnya, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”[Silsilah Dha’ifah, no. 2132.]

Mengingat hadis tentang keutamaan menghidupkan malam Nisfu Sya’ban dan berpuasa di siang harinya tidak sah dan tidak bisa dijadikan dalil, maka para ulama menyatakan hal itu sebagai amalan bid’ah dalam agama.[Fatawa Lajnah Da’imah: 4/277, fatwa no. 884.]

Pendapat kedua, terdapat keutamaan khusus untuk malam nishfu Sya’ban. Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan Al Albani).

Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syaikhul Islam mengatakan, “…pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam Madzhab Hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam nishfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, 23:123)

Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam nishfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, 3334



Sumber : https://konsultasisyariah.com/31599-keistimewaan-bulan-syaban-berikut-amalan-sunnah-di-dalamnya.html
Photo : unsplash.com

Monday, April 6, 2020

5 Tip Menjaga Kebersihan Ala Nabi



PANDEMI virus corona menggucang berbagai sendi kehidupan. Beragam himbauan dari banyak pihak datang silih berganti. Isinya nyaris senada, baik di media cetak, elektronik, dan online. Salah satunya adalah hidup bersih.
Menjaga kebersihan adalah ajaran yang sudah didengungkan oleh Islam. Sebagai penganutnya sudah menjadi kelaziman untuk kita amalkan. Sejak empat belas silam Nabi Muhammad ﷺ tampil dengan membawa contoh budaya hidup bersih. Kebersihan menjadi perintah dan setengah dari ajaran agama kita.
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُطَّهِّرِينَ
Dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (QS: At Taubah: 108)
Dari Abu Hurairah Rasul ﷺ bersabda:
تَنَظَّفُوْا بِكُلِّ مَا اِسْتَطَعْتُمْ فَاِنَ اللهَ تَعَالَي بَنَي الاِسْلاَمَ عَلَي النَظَافَةِ وَلَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ اِلاَ كُلُّ نَظِيْفٍ
Artinya : “Bersihkanlah segala sesuatu semampu kamu. Sesungguhnya Allah ta’ala membangun Islam ini atas dasar kebersihan dan tidak akan masuk surga kecuali setiap yang bersih.” (HR Ath-Thabrani).
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ “. أخرجه مسلم (211
“Kebersihan separuh dari keimanan. Dikeluarkan (HR Muslim).
Nabi juga mengingatkan dalam sabdanya yang lain, “Lakukanlah olehmu kebersihan semampu yang bisa kalian usahakan, sebab Islam tegak di atas dasar kebersihan, dan tidak akan masuk surga kecuali setiap yang bersih.”
Sejumlah keterangan yang tersurat dalam lembaran sejumlah buku menjadi bukti. Dalam buku Muhammad: al-Insaan al-Kaamil yang ditulis oleh Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki, disebutkan cara Nabi dalam menaruh perhatian terhadap kebersihan.
So, seyogyanya kita meniru beliau meski musim wabah telah berlalu, pada akhirnya.
Pertama, kebersihan badan. Apa yang Nabi lakukan untuk menjaga kebersihan badan? Mandi setiap hari, rajin mencuci tangan khususnya sebelum dan sesudah makan serta membersihkan segala kotoran yang melekat pada lipatan badan. Untuk menjaga kebersihan pula beliau sering mencukur kumis, memotong kuku-kuku jemari, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu di sekitar area kemaluan.
Dalam hadis yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah radhiallahu ‘anha:
عَشْرٌ مِنْ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الْأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الْإِبِطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ قَالَ زَكَرِيَّاءُ قَالَ مُصْعَبٌ وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ
“Ada sepuluh hal termasuk bagian dari fitrah atau kesucian, yaitu memotong kumis, memelihara jenggot, bersiwak, menghirup air dengan hidung (istinsyaq), memotong kuku, membasuh sendi-sendi tulang jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, istinja’ dengan air.” Zakaria berkata bahwa Mu’shob berkata, “Aku lupa yang kesepuluh, aku merasa yang kesepuluh adalah berkumur-kumur.” (HR. Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An-Nasai Ibnu Majah)
Kedua, menjaga kebersihan rambut. Bagaimana caranya? Mudah sekali dan mungkin tanpa kita sadari kita telah melakukannya namun tanpa berniat mengikuti beliau. Yaitu, menyisir rambut dan menuangkan minyak di atasnya. Sahabat Anas, pelayan Nabi ﷺ, berkata: “Rasulullah senantiasa berminyak rambut dan selalu menyisir jenggotnya.”
Ketiga, beliau menjaga kebersihan mata. Yang beliau lakukan untuk hal ini adalah memakai celak mata. Sahabat Abdullah bin Abbas menyampaikan sebuah riwayat bahwa Nabi ﷺ setiap malam memakai celak, tiga kali di mata kanan dan tiga kali di mata kiri.
Disebutkan bahwa Nabi ﷺ sering melakukannya, terutama setiap hendak menjelang tidur. Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, dari Abdullah bin Abbas, dia berkata;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَكْتَحِلُ بِالْإِثْمِدِ كُلَّ لَيْلَةٍ قَبْلَ أَنْ يَنَامَ وَكَانَ يَكْتَحِلُ فِي كُلِّ عَيْنٍ ثَلَاثَةَ أَمْيَالٍ
Sesungguhnya Nabi ﷺ bercelak dengan istmid (batu hitam yang biasa digunakan untuk bercelak), setiap malam tetkala menjelang tidur, dan beliau bercelak tiga kali pada setiap matanya.
Keempat, kebersihan mulut. Yang Nabi contohkan dalam membersihkan mulut dengan memakai tusuk gigi setelah makan. Beliau juga ber- takhliil (menyela-sela) gigi dengan cara berkumur, mensela tangan, dan dengan memasukkan air ke dalam hidung.
Beliau ﷺ bersabda, “Sungguh baik umatku yang sering membersihkan gigi waktu berwudhu maupun setelah makan, di waktu berwudhu sembari berkumur-kumur, dan menghidup air ke hidung serta membersihkan celah-celah jari. Malaikat sangat benci bila melihat seseorang yang sedang melaksanakan salat sementara sisa makanan masih melekat di celah-celah giginya.”
Nabi juga bersiwak untuk lebih menjaga kebersihan mulut,. Beliau bersiwak di beberapa kondisi, seperti dalam wudhu, hendak salat, akan tidur dan setelah bangun tidur. Di masa sekarang siwak bisa kita lakukan dengan menggunakan sikat gigi dengan niat bersiwak sebagaimana yang Nabi kerjakan.
Nabi ﷺbersabda: السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ ، مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ ”
“Siwak itu membersihkan mulut dan mendapat ridho Tuhan.” (HR. Nasa’I di sunannya)
Kebersihan kelima  yang tidak luput dari perhatian Nabi adalah mengenakan pakaian yang bersih. Beliau berpakaian rapi, bersih dan menyesuaikan dengan situasai. Seperti pakaian ketika di rumah berbeda ketika mengenakan pakaian saat berada di tengah umat, atau pakaian yang dikenakan di tengah pertempuran. Beliau juga memakai pakaian khusus pada momen-momen special seperti : hari raya Idul Fitri, Idul Adha, atau hari Jumat.
Beliau mengenakan pakaian sesuai kondisi. Beliau menganjurkan agar kita menjaga kerapian pakaian dan melarang untuk mengenakan pakaian yang kainnya terlalu panjang sehingga menyentuh tanah. Larangan ini lebih kepada menjaga pakaian dari terkena kotoran dan tetap terjaga kebersihannya.
Memakai pakaian yang baik dan bersih adalah wujud mensyukuri nikmat Allah. “Bila Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya, Dia suka melihat bekas nikmat itu padanya.” (HR. Baihaqi). Dalam sabda yang lain; “Setengah dari kehormatan seorang mukmin kepada Allah, ialah kebersihan pakaiannya.” (HR. Abu Nu`aim)
Dari Jabir bin Abdullah berkata:
أتانا – رسولُ الله – صلَّى الله عليه وسلم – فرأى رجُلاً شعِثاً قد تفرَّقَ شَعرُهُ ، فقال: “أما كان هذا يَجدُ ما يُسَكِّنُ به شَعْرَهَ؟ ” ورأى رجُلاً آخر عليه ثيابٌ وسِخَة فقال: “أَما كان هذا يجدُ ما يَغسِلُ به ثوبَهُ؟ “. والحديث صححه الشيخ الألباني في السلسلة الصحيحة (493
“Rasulullah ﷺ mendatangi kami dan beliau melihat seseorang berdebu dan rambutnya terburai. Maka beliau bersabda, “Apakah dia tidak mendapatkan sesuatu yang dapat merapikan rambutnya. Dan beliau melihat orang lain memakai baju kotor, maka beliau bersabda, “Apakah dia tidak mendapatkan apa yang dapat mencuci bajunya.”
Termasuk kebersihan yang beliau perhatikan adalah kebersihan rumah dan masjid.Stay at home. Tinggal di rumah. Inilah kalimat anjuran yang menjadi langkah untuk meminimalisir penyebaran virus. Kalau kita tinggal di rumah maka tentu kita harus lebih memperhatikan kebersihan di dalamnya. Beliau bersabda, “Bersihkanlah halaman rumahmu.” Inilah yang dilakuan oleh Nabi selama hidupnya.
Yang tidak kalah penting adalah kebersihan masjid. Sebagai tempat ibadah umat Islam, rumah harus dijaga dan dirawat kebersihannya agar jamaah yang beribadah merasa nyaman dan betah tinggal di dalamnya. Jika sekarang muncul himbauan untuk salat di rumah untuk sementara waktu, hal itu semata-mata menjaga kerumunan massa yang bercampur antara yang sakit dengan yang sehat. Bukan karena faktor masjid, tapi lebih kepada kerumunan  massa.
Nabi ﷺ membersihkan masjid dari kotoroan yang paling kecil sekalipun. Beliau tidak memberi toleransi adanya kotoran apapun di dalam masjid, termasuk meludah. Inilah contoh kebersihan keenam yang Nabi praktekkan.
Nabi bersabda:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وسلم ببنيان المساجد في الدور ، وأمر أن تنظف وتطيب “. أخرجه أحمد في “المسند” (26386) ، وصححه الشيخ الألباني في السلسة الصحيحة (2724)
“Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk membangun masjid di perkampungan. Dan memerintahkan untuk membersihkan dan memberi wewangian. Dikeluarkan Ahmad di Musnad, (26386).
Demikianlah sejumlah potret keteladan yang dipanggungkan oleh Nabi sebagai contoh dan langkah nyata bagi kita. Anjuran hidup bersih dengan mandi, rajin mencuci tangan, membersihkan gigi, merawat rumah, masjid, sudah lama disampaikan jauh sebelum adanya wabah seperti sekarang ini.
Jika hari ini kita melakukan langkah-langkah pencegahan semacam itu, niatkanlah untuk meneladani Nabi Muhammad ﷺ, niscaya kita akan dapat dua perkara : pahala dan kesehatan.
Ali Akbar bin Aqil
Penulis pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang

Sumber :https://m.hidayatullah.com/kajian/gaya-hidup-muslim/read/2020/04/05/181150/5-tip-menjaga-kebersihan-ala-nabi-ﷺ.html